Bu, Anakmu Patah
Bu, Anakmu patah hati tiap kali
makan enak di restoran sambil terbahak bersama teman-teman. Ada rasa yang lebih tajam hingga membuat rasa
makanan menjadi hambar. Bukan hanya karena masakanmu yang selalu juara, tapi
jauh darimu buat tiap makanan tarasa tawar. Hari ini, apa yang ibu masak untuk
membuat kenyang seisi rumah? Apa bumbu yang lupa ibu beli hingga harus
berteriak pada adik-adik? Dan, hari ini sepusing apa ibu memikirkan menu agar
semua makan dengan lahap?
Aku tau, sesekali ibu juga
memikirkanku. Apa yang aku makan? Apakah aku kelaparan? Apakah masakan orang
lain bisa membuatku tetap makan dengan berselera hari ini? Aku yakin sesekali
ibu memikirkannya. Ntah saat berdiri di depan kompor, duduk memetik cabai,
mengupas bawang, atau sesaat sebelum tidur.
Bu, benar, anakmu patah hati. Sejak pagi di awal Juli. Aku baru merasakan sakit seperti ini. Rasanya ingin selalu terbaring, keinginan untuk makan hilang, senyum berubah jadi hal yang mahal, dan parahnya, sering kali aku lupa cara berjalan. Terhitung dari pesan itu aku terima, beberapa kali kakiku lemah untuk melangkah. Jatuh di tengah jalan saat menyebrang, itu puncaknya.
Aku tau, sesekali ibu bertanya di
hati. Tentang kisah cintaku. Tentang hari-hari yang aku lalui sendiri. Sudah
terpikirkah diriku untuk menjadi seorang istri. Dengan skill memasak yang
mengerikan ini, mampukah nanti aku membuat suami tak lapar dan tak jajan sana
sini. Aku tau, sering kali ibu mengkhawatirkan itu. Tapi saat itu harusnya aku
katakan padamu, bu. Bahwa hatiku remuk redam akibat pesan yang tak singkat dari
seorang sahabat yang aku pikir bisa menemaniku hingga tua. Menjadi partner terbaikku mendidik cucu cucumu
yang lucu.
Aku mengenalnya di bangku kuliah,
bu. Hari pertama daftar ulang setelah pengumuman bahwa aku lulus dari seleksi
masuk universitas. Aku jatuh hati pada pandangan pertama. Ia terlihat begitu
bersahaja, tersenyum ramah saat kami saling bertatap mata. Lelah di sore itu
seketika sirna ketika dia bilang ‘Masih bisa besok, sabar ya?’ Sapaan pertama
darinya sungguh menenangkan, bu. Kami tengah mengantri mengumpulkan berkas
sekaligus berfoto untuk pembuatan kartu mahasiswa hari itu, sejak pagi. Tapi
ketika giliran dia yang saat itu nomor antriannya ditakdirkan hanya selisih
satu angka di depanku, staff yang bertanggung jawab pada pengumpulan berkas itu
dengan santai bilang ‘Kita lanjutkan besok ya, mas?’ Merasa sangat dirugikan,
aku sontak protes karena hanya tinggal lima orang saja pada sore itu, dan aku
yakin tak menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit. Tapi bu, kalimatnya
sore itu sungguh seperti hembusan angin di padang rumput yang luas.
Menenangkan.
Aku juga ingat, bu, dia pernah meminjamkan
jaketnya untuk menutup rok pendekku ketika aku harus duduk di depan ratusan
mahasiswa akuntansi yang lain saat menunggu giliran dihukum kakak tingkat pada
masa ospek dulu. Aku ingat sekali eksperesi wajahnya, aku ingat wajah manisnya
siang itu. Ah ibu, aku secepat itu dibuatnya jatuh hati. Dia juga pernah
menelepon bapak karena khawatir saat seharian aku tak membalas pesan dan
mengangkat teleponnya. Aku juga ingat betul saat dia buru-buru datang ke kampus
dengan membawa nasi bungkus karena dia tau aku tak sempat makan saking sibuknya
mengurus kegiatan keputrian di organisasi kampus. Aku sulit lupa untuk semua
perhatian kecil yang dia beri padaku, sejak awal bertemu hingga akhirnya kami
terpaksa jauh.
Asal ibu tau, dia tidak melakukan
itu kepada semua orang, bu, sungguh. Hampir semua teman bilang bahwa dia adalah
salah satu manusia yang Tuhan ciptakan dengan karakter yang begitu cuek,
beberapa teman juga bilang bahwa dia pelit. Hahaha. Pernah satu sore, kami
bersama teman sekelas sedang duduk di depan gedung kuliah beberepa saat selesai
kelas. Dia dengan polosnya bertanya nama salah satu teman yang kami sudah
sekelas selama hampir dua tahun. Tak jarang dia tertukar memanggil nama teman,
mana pernah dia peduli siapa saja yang tak masuk kelas saat kuliah. Cukup parah
dari itu semua, hampir semua nama dosen yang pernah mengisi kelas tak dia hafal
namanya. Jadi bagaimana tidak hatiku seperti ingin melompat, bu ketika dia mau
begitu repotnya peduli pada pola makanku, kesehatanku, bahkan hidupku. Tapi ada
satu hal yang selalu tak dia ingat tentangku, bu. Dia selalu lupa tanggal
lahirku, kecuali saat dia dan aku merencanakan hal baik di satu waktu. Dia
mengingat jelas tanggal lahirku sekali itu.
Bulan kedua Kuliah Kerja Nyata
(KKN) waktu itu. Setelah libur lebaran sekitar satu pekan, semua mahasiswa KKN
diwajibkan kembali ke lokasi KKN-nya masing-masing. Semoga ibu ingat, lokasi
KKN aku dan teman sekelompok letaknya di salah satu pedalaman desa bagian Utara
dari kota Bengkulu. Dengan takdir yang begitu menggembirakan lokasiku dan dia hanya
berjarak kurang dari lima kilometer, tak sampai sepuluh menit untukku dan dia
bisa bertemu jika sedang ingin. Hari ke enam di bulan Agustus, dua hari setelah
banyak kejutan yang aku terima dari teman-teman sekelompokku, dan satu hari
setelah badanku terlalu lemah untuk digerakkan. Dia menelepon, menanyakan kabarku,
dan akhirnya duduk tepat di depanku setelah mengetahui bahwa aku sedang sakit,
kurang dari tiga puluh menit setelah dia menelepon. Sepolosnya dia bertanya,
mengapa banyak lilin dan membentuk namaku di pekarangan sebelah. Sejujurnya aku
kesal sekali mendengar pertanyaannya, bu, padahal aku tau itu bukan kali
pertama dia tak menyadari dan melewatkan hari ulang tahunku. Entah karena aku
sedang PMS atau karena aku sedang sakit sehingga aku begitu emosional siang
itu. Teman-teman yang mendengar pertanyaannya sontak melemparnya dengan
benda-benda yang di dekat mereka waktu itu, buatku makin ingin murka saja. Satu
hal yang tak pernah aku dapatkan sejak dekat dengannya hanya itu, bu. Ucapan
selamat ulang tahun darinya, dan itu buatku tak berani menambah harap bahwa dia
akan membawakanku seikat Bunga mawar atau anggrek di peringatan hari
kelahiranku. Bukankah dia menyebalkan bu? Yang lebih menyebalkan dari itu
adalah, aku begitu menyayanginya bahkan disaat aku tau apa kekurangannya, bu.
Ntahlah, bu, rasanya aku begitu
menyayanginya. Dan sepanjang ingatanku bersamanya kami selalu melewati semua
dengan baik-baik saja; bahagia. Tapi itu hanya asumsi kami; dia dan aku. Ada
yang begitu tak mengharapkan hubungan kami semakin dekat, semakin terikat. Aku
pikir ibunya juga menyayangi dan menerimaku, tapi itu hanya pikiranku saja.
Bertahun-tahun mengenal ibunya dan tak jarang beliau menghubungiku menanyakan
tentang putranya padaku membuatku merasa seperti sudah diberi tempat oleh
keluarga mereka. Tapi lagi, ternyata itu hanya perasaanku saja. Ibunya tak restu.
Ibunya sudah punya rencana, menjodohkan putra bungsunya dengan anak teman
lamanya. Sungguh sinetron, bu kisah cinta kami. Kadang aku tak begitu percaya
pada semua yang terjadi, sampai akhirnya aku terima pesan dengan puluhan kata
maaf darinya.
Pagi itu menjadi salah satu pagi
yang paling mengerikan yang pernah aku lalui, bu. Aku pikir itu masih menjadi
bagian dari mimpiku, ternyata bukan. Itu benar kenyataan. Ibunya tiba-tiba
bilang sudah memilihkan perempuan yang pantas
untuk mendampinginya setelah dia meminta izin untuk melamarku di hari ulang
tahunku. Bukankah sejarah, aku dilamar di hari ulang tahunku oleh orang yang
selalu lupa tanggal lahirku. Tapi ternyata sejarah yang tercatat berbeda dari
yang aku impikan. Kami mulai banyak saling diam setelah hari itu, terutama aku.
Apa yang bisa aku perbuat? Meyakinkan ibunya yang sudah yakin dengan
pilihannya? Diam dengan banyak pinta saat bedo’a saja yang aku bisa lakukan.
Tapi aku tau, dia tak berhenti mencari cara untuk bisa buat kami bersatu.
Meskipun akhirnya kami harus saling melepas satu sama lain. Aku pernah
mendengar percakapannya dengan ibunya, aku pernah mendengar suaranya yang
tercekat saat menolak dijodohkan, aku pun mendengar suara isak darinya saat
meminta ayahnya untuk mendukung pilihannya. Aku semakin patah karena setiap
usaha darinya tetap tak membuat mimpi kami menjadi nyata. Mungkin dia juga sama
patahnya. Pilihan ibunya tak bisa diganggu gugat. Ibunya terlalu menyayanginya
hingga hampir semua keputusan dalam hidupnya diambil dan diputuskan oleh
ibunya. Ibunya ingin melakukan yang terbaik untuk putra kesayangannya.
Begitulah sepertinya; menurut ibunya.
Akhirnya, bu. Aku mulai
mendekatinya lagi. Mencoba meyakinkannya kembali. Bahwa hal yang paling
membahagiakan di muka bumi ini adalah melihat orang yang kita sayang bahagia.
Iya, bu dengan setegarnya aku mengajaknya juga berdamai dengan piihan ibunya.
Usahaku juga dia sudah maksimal, do’aku dan do’anya di langit pun sudah tebal
menggumpal. Tersisa tawakal. Satu hal yang hampir selalu aku ulang agar ia
mencoba untuk meredam egonya, ‘Ada surga dalam restunya, jangan sekali-kali
membuatnya murka. Tuhan ridho padamu jika kamu membuatnya ridho. Bahagiakan
ibumu, karena sampai kapan pun kamu selalu miliknya. Aku percaya, pilihan ibumu
pasti terbaik. Aku yakin kamu bahagia, dan jika kamu kamu bahagia, tak mungkin
aku tidak.’
Lalu kemudian, Jum’at kedua di
bulan November di satu kota kecil di Sumatera bagian selatan, resmi sudah. Aku
harus melepasnya, mengikhlasnya. Dia sudah sah menjadi menantu dari teman ibunya.
Ibunya begitu bahagia karena akhirnya teman lamanya kini menjadi keluarganya,
karena bersatunya anak mereka. Iya, bukan lagi sekedar teman, tapi juga besan.
Sedang aku disini, jauh dari kota itu, tepat di hari itu, aku terpaksa kabur
dari tempat kerjaku bu. Aku izin tanpa memberi sedikit pun alasan. Aku pergi
tanpa tujuan. Naik KRL yang satu menuju KRL lainnya. Singgah sebentar, pergi
lagi. Dengan banyak gusar, juga sedih di hati. Ibu, aku patah. Ntah kepingannya
terserak kemana? Hujan yang lebat siang itu semaunya memperbanyak setiap
kepingnya. Buatku makin sulit mencari dan menyatukannya. Hujan siang itu,
sedikit pun tak mampu menyamarkan air mata yang jatuh. Hujan tak pernah
semenyakitkan ini sebelumnya, bu. Sungguh.
Setelah hari itu, aku tak tau apakah
masih ada hari esok untukku. Rasanya bukan hanya dia yang diambil dariku. Tapi
juga senyumku, senangku, tawaku, bahagiaku, nafsu makanku, sehatku bahkan
semangat hidupku. Aku rasa semua diambil setelah hari itu. Bagaimana dengannya?
Sama. Dia masih menghubungiku bahkan saat setelah dia sah menjadi suami orang
lain. Sehari, dua hari, sepekan, dua pekan. Sebulan, dua bulan, tapi mau sampai
kapan? Sekali lagi aku mencoba meyakinkan. Surganya harus selalu dia
bahagiakan. ‘Aku tau ini sulit. Bukan hanya kamu yang terluka, aku juga. Kamu
tentu paham semua yang Tuhan tadirkan adalah kebaikan, bukan? Bolehkah kita
sudahi semuanya? Kita harus saling mengikhlaskan. Jika terlalu sulit,
berhentilah sebentar. Tapi jangan pernah berpikir untuk kembali ke belakang. Kita
harus sama-sama bahagia meski tak bersama.’ Tangisku lagi-lagi pecah saat
mengirimkan pesan itu padanya, mungkin hatiku juga. ‘Maaf tanpa hingga.’
Kalimat terakhir dari pesannya sebelum akhirnya aku terpaksa mengganti nomor
kontakku. Iya, aku tak ingin dia berubah menjadi laki-laki yang pandai membuat
perempuannya sedih. Istrinya pasti akan terluka jika tau semua cerita dibalik
kata sah dari para saksi di hari ijab qabul mereka.
Aku tak salah kan, bu? Ak benar
telah memilih untuk mengikhlaskannya kan, bu? Aku juga harus memulai hari baru
dengan harapan yang baru kan, bu? Aku harusnya bersyukur karena diberi
kesempatan untuk mengenal laki-laki sebaik dia. Iya, dia lelaki yang baik. Tapi
bagi Tuhan, untukku dia bukan yang tebaik. Ah, bu kenapa air mataku masih saja
mengalir padahal aku sudah bilang bahwa aku mengikhlaskannya? Maafkan anakmu
yang pernah patah ya, bu? Saat ini anakmu sedang berusaha semampunya mengumpulkan
setiap kenangan agar bisa dijadikan pelajaran. Aku harap ibu tak memintaku
untuk melupakan semuanya ya, bu? Karena kurasa aku tak mampu. Biar waktu saja
yang menarik semua kisah manis dan pahit itu dengan sendirinya. Aku tak begitu
yakin akan bisa bila sendiri
melakukannya, jadi sekali lagi biar waktu saja. Biar waktu juga yang menggantikan
semua cerita bersamanya dengan cerita-cerita baru. Cerita manis yang akan
membuatku lebih bersyukur karenanya. Juga cerita pahit yang akan membuatku
lebih bersabar karenanya. Dan yang tak kalah penting dari itu semua, baik
cerita manis atau pun pahit semoga selalu melatih ikhlasku pada tiap takdir
dari-Nya.
Sudah malam, bu. Sudah waktunya
ibu istirahat, ibu pasti lelah. Aku juga, menceritakan kembali semua kejadian
bersamanya buatku sangat lelah. Mungkin aku pelan-pelan akan mulai menuliskan
banyaknya memori indah bersamanya. Menjadikannya suatu karya, yang suatu hari
nanti bisa membuat kami saling bangga karena sama-sama sudah dengan lapang
menerima semua ketetapan-Nya. Tentunya satu hal yang akhirnya membekas dan
harus aku ambil pada kisah ini. Hanya karena selama ini kami sejalan, ternyata
bukan berarti kami akan selalu bersama hingga akhir meski satu tujuan. Aku
selalu mengharap do’amu, ibu. Semoga luka ini segera sembuh, cinta yang lebih
abadi kian bersemi tumbuh di hatiku. Selamat tidur, bu. Aku menyayangimu.~
#DiaryFiksi #Andarly #AiRi
Ahad, 13 September 2020
Komentar
Posting Komentar